Part 1 - Biografi Lengkap KH. Nasir Zayadi (Pendiri YP Sunan Giri)

 Jamaluddin, demikian nama masa kecil KH. Nasir Zayadi. Ayahnya bernama KH. Zayadi bin Kiai Nyato, asal desa Durjan, Kokop, Bangkalan, Madura, seorang tokoh Islam yang sangat masyhur memiliki kekuatan supranatural dan kedigdayaan. Ibunya bernama Ny. Hj. Siti Maryam binti KH. Zainal Alim atau dikenal dengan nama Kiai Tombu, desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Di desa Ganjaran inilah Jamaluddin lahir dan dibesarkan. Jamaluddin merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya bernama Ny. Hj. Qomariyah dan Ny. Hj. Rumsiyah. 

Dengan terlahirnya seorang bayi yang diberi nama Jamaluddin itu, terpancar rasa penuh kebahagiaan dari wajah kedua orang tua dan seluruh keluarganya, bukan hanya karena beliau adalah anak laki-laki satu-satunya, tetapi di pundak beliaulah kelak. tertumpu amanat untuk meneruskan perjuangan KH. Zainal Alim. 

Semenjak kecil, Jamaluddin dididik di lingkungan pondok. pesantren Zainul Ulum. Pesantren yang didirikan oleh kakeknya itu adalah pesantren pertama di Malang selatan. Di sana sang kakek menerapkan kedisiplinan yang tinggi dan terus-menerus sehingga menjadi bekal dalam diri Jamaluddin yang baru tumbuh.

Perihal hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran beliau, belum ditemukan sumber yang benar-benar dianggap sahih. Kelemahan dalam pencatatan hari kelahiran anak kala itu memang dianggap lumrah. Data yang terdapat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan beberapa dokumen lain-semisal Akta Wakaf terdapat perbedaan. Di KTP yang dikeluarkan tahun 1985, beliau lahir tahun 1920, sementara pada KTP yang dikeluarkan tahun 1996 beliau lahir tahun 1937. Dokumen pencatatan Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang dikeluarkan di tahun yang sama (1996) menyebutkan bahwa usia beliau saat itu 47 tahun, artinya beliau dilahirkan tahun 1949. Terlepas dari itu semua, jika berdasar pada penjelasan istri KH. Nasir, Ibu Nyai Marwati, beliau berdua menikah pada tahun 1968, saat itu usia KH. Nasir sekitar 30 tahun. Berdasarkan informasi itu, dokumen yang paling mendekatinya adalah KTP yang dikeluarkan pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa KH. Nasir lahir pada tahun 1937. 

Ada sebuah riwayat menarik ketika Jamaluddin sedang dalam kandungan sang ibu. Riwayat ini disampaikan langsung oleh H. Ismail, seorang santri KH. Zainal Alim yang ditugaskan memelihara sapi beliau. Menurutnya, KH. Zayadi pernah bermimpi memeluk macan berwarna putih. Mimpi beliau terjadi berulang-ulang hingga membuat KH. Zayadi cemas dan gelisah. Karena merasa ada yang aneh, akhirnya beliau memutuskan untuk menceritakan mimpi tersebut pada mertua beliau, KH. Zainal Alim. Mendengar cerita itu, kiai pertama di desa Ganjaran itu menjawab, "Ye ajiyah anak'eh be’'nah se bedeh e delem tabuk. Guk-agguk bekal deddiyeh macan (Ya, itulah anakmu yang sedang dalam kandungan, la kelak akan menjadi macan)". 

Foto : KH. Zainal Alim (Kyai Tombu)

Mendengar jawaban tersebut, KH. Zayadi semakin dibuat tercengang. Tentu kalimat tersebut adalah majas yang tidak bisa diterima secara harfiah. KH. Zainal Alim menjawab demikian bisa berarti bahwa cucunya itu kelak akan menjadi tokoh penerus perjuangannya yang sangat berkharisma dan memiliki banyak keistimewaan. Kisah tentang macan ini, akan diceritakan lebih lengkap pada bagian tersendiri di belakang. 

Jamaluddin adalah anak yatim yang ditinggal wafat ayahnya saat muda belia. Waktu itu, KH. Zayadi sedang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh. Segala macam usaha untuk mengobati sakit yang dideritanya telah ditempuh. Hingga akhirnya, beliau memutuskan untuk berpindah sementara waktu ke daerah asalnya, Durjan, Madura. Masyarakat Madura biasa menyebutnya: Atira

Di sana, kesehatan beliau tidak mengalami kemajuan. Yang terjadi justru sebaliknya, kondisinya kian hari semakin menurun. KH. Zayadi akhirnya wafat. Karena beberapa pertimbangan yang tak memungkinkan untuk dipulangkan ke desa Ganjaran, akhirnya beliau dimakamkan di desa Durjan, kecamatan Kokop, Bangkalan, Madura, berdampingan dengan kedua orang tuanya. 

Pengasuhan Jamaluddin muda kemudian diambil alih oleh kakek-neneknya, KH. Zainal Alim dan Ny. Hj. Siti Mariyah. Sejak itu, beliau dididik langsung oleh KH. Zainal Alim. Meski masih muda, Jamaluddin sudah akrab dengan pendidikan agama, khususnya Ilmu Tauhid. Pesantren Zainul Ulum saat itu memang dikenal sebagai mercusuar Ilmu Tauhid. Tak heran jika para santri dan banyak alumninya yang memiliki kematangan dalam bidang Ilmu Tauhid. 

Perhatian dan asuhan langsung KH. Zainal Alim tidak membuatnya menjadi anak yang kolokan. Setiap hari Jamaluddin lebih memilih tinggal mandiri di pesantren bersama santri-santri KH. Zainal Alim. Meski beliau adalah cucu pengasuh, beliau terbilang sangat jarang tinggal di Ndalem Sepuh. Akibatnya, tak jarang Bu Nyai Sepuh (Mbah Nyai Siti Maryam) menyuruh santri agar memanggil Jamaluddin untuk sekadar beramah-tamah di Ndalem Sepuh, namun beliau lebih memilih untuk dikirim makanan ke kamarnya di asrama pesantren putra. 

Tak sampai di situ, salah satu alumni KH. Zainal Alim menuturkan bahwa Jamaluddin muda memang jarang keluar dari kamar. Beliau juga kerap kali berpuasa sunah. Alumni tersebut menambahkan, sejak beliau masih kecil banyak sekali tanda- tanda keistimewaan beliau mulai dari caranya berbicara, perilaku sampai pada wadzifah-nya. 

KH. Zainal Alim sangat bersungguh-sungguh dan intensif dalam mendidik Jamaluddin muda. Usaha beliau tentu sebagai upaya untuk memperoleh hasil yang optimal dalam pengaderan agar kelak Jamaluddin dapat meneruskan estafet perjuangannya. 

Hal itu dikuatkan dengan sebuah pernyataan langsung KH. Zainal Alim dalam berbagai macam kesempatan, termasuk saat hendak memulai kajian kitab dan saat berbincang-bincang santai dengan para tamu yang sedang sowan. Beliau tak segan memperkenalkan cucunya yang masih muda belia seraya berkata, "Kelak, Jamaluddin ini yang akan menjadi penerusku”. 

Tatkala KH. Zainal Alim sudah lanjut usia dan penglihatan beliau sudah semakin berkurang, secara khusus beliau meminta Jamaluddin muda untuk membantu membacakan kitab yang sedang dikaji di hadapan para santri, sementara KH. Zainal Alim yang memberikan penjelasan dan ulasan dari isi kitab tersebut. 

Masa di Pesantren 

Meski tak diasuh oleh orang tuanya langsung karena statusnya sebagai anak yatim, hal itu tidak membuat Jamaluddin muda putus asa. Jamaluddin muda belajar dengan penuh kemandirian dan selalu berusaha bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. 

Masa-masa muda Jamaluddin adalah masa di mana kebutuhan untuk yang dimakan saja susah, sebagaimana lazimnya masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan. Namun, karena cintanya pada ilmu agama dengan ditopang semangat yang sangat kuat, himpitan ekonomi dan keterdesakan kebutuhan hidup tidaklah menghalangi pengembaraannya dalam menuntut ilmu. 

Nyantri di Lirboyo 

Dari berbagai sumber yang didapat, Jamaluddin muda pernah nyantri di beberapa pesantren. Pesantren pertama yang menjadi tujuannya adalah pondok pesantren Hidayatul Mubtadi'in, Libroyo, Kota Kediri. Masuk sebagai santri Lirboyo, Jamaluddin muda sudah memiliki bekal keilmuan yang cukup dibilang lumayan dari kakek beliau, KH. Zainal Alim atau dikenal dengan sebutan Kiai Tombu. 

Di Lirboyo, Jamaluddin muda mengembangkan keilmuannya di bidang Nahwu-Sharraf, Fiqih, Akidah dan ilmu-ilmu lainnya dengan ngaji kepada KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly. Tidak diketahui berapa tahun beliau nyantri di Lirboyo. Hanya saja, beliau tercatat telah menyelesaikan pendidikan Madrasah Hidayatul Mubtadi'in (MHM) Lirboyo pada tahun 1962. 

Ada kisah unik dari rihlah beliau di Lirboyo. Sekitar tahun 2001 (satu tahun sebelum beliau wafat), KH. Nasir Zayadi meminta kepada Mudir Amm untuk diterbitkan ijazah Lirboyo melalui salah seorang temannya saat nyantri di sana, namanya KH. Saiful Haq, Beliau adalah pengasuh pesantren Mambaul Jadid, Urek-Urek. Sebagai seorang teman, KH. Saiful Haq tak ada pilihan lain selain menyanggupi permintaan KH. Nasir Zayadi meski terbilang tak biasa itu. 

Pihak Lirboyo saat itu tentu sangat kesulitan untuk menerbitkan ijazah bagi para alumninya yang lulus tahun 50 sampai 60-an. Besar kemungkinan saat itu Lirboyo tidak menerbitkan ijazah seperti akhir-akhir ini. Namun hasrat beliau ini adalah karena besarnya keinginan beliau agar tetap diakui sebagai santri Lirboyo yang salah satunya dengan memiliki legalitas ijazah Lirboyo. 

Secara keadministrasian, pesantren Lirboyo hanya dapat mendeteksi data santridan alumni dari buku induk semenjak tahun 70-an. Untuk dapat melacaknya, Lirboyo berdasar dari dokumen pendukung, semisal; buku rapor, kartu santri, keanggotaan kamar, dan lain sebagainya. Namun, saat itu langkah-langkah yang dapat dilakukan hanya dengan keterangan saksi-saksi (dari teman-temannya), atau dengan menyebutkan nama gurunya. Setelah melakukan pelacakan yang cukup panjang, pesantren Lirboyo akhirnya menerbitkan duplikat Ijazah untuk KH. Nasir Zayadi. 

KH. Habibullah Zaini selaku Mudir Amm saat itu menyampaikan kepada KH. Saiful Haq, "Mangke jenengan sanjangaken ten tiyange, niki ijazah paling unik sak dunyo, kranten namung niki, foto ijazah Lirboyo ndamel kopyah putih (Nanti Anda sampaikan kepada beliau. Bahwa ini adalah ijazah paling unik sedunia, karena ini adalah satu-satunya foto ijazah Lirboyo untuk orang yang memakai kopiah putih-karena telah menjadi kiai)". 

Keunikan lain dari duplikat ijazah itu adalah karena beliau sebaga santri lulusan tahun 1962 tetapi ijazah dikeluarkan tertanggal 15 Mei 2001 dan ditandangani oleh M. Manshur Abd. Mu'in selaku kepala madrasah tsanawiyah beserta KH. Habibullah Zaini selaku Mudir Amm Madrasah Hidayatul Mubtadi'in (MHM) Lirboyo.

Nyantri di Sarang 

Pesantren kedua yang disinggahi beliau adalah pesantren. Ma'hadul 'Ulum Asy-Syar'iyyah (MUS), Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh seorang ulama besar bernama KH. Zubair Dahlan (ayahanda KH. Maimun Zubair). 

Bersambung pada Part 2 





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Part 1 - Biografi Lengkap KH. Nasir Zayadi (Pendiri YP Sunan Giri)"

Post a Comment